Senin, 03 September 2012

Jika Esok Tak Pernah Ada.

Entah mengapa, semua menjadi terasa hambar. Sebelas tahun usia pernikahan bukan waktu yang singkat untuk dijalani. Tetapi semakin lama, kehampaan ini semakin terasa. Aku yang dulu sangat mencintai istriku, mulai berpikir kemana gerangan rasa cinta yang pernah ada dalam hati ini. Kenapa rasa ini berlalu begitu saja? Aku mulai lupa kapan aku memujanya, aku lupa kapan terakhir kami bermesraan, bahkan irosnisnya aku juga lupa sejak kapan semua keindahan ini menghilang begitu saja.

Aku mulai sering pulang malam dengan alasan lembur di kantor, padahal hanya untuk dapat menghabiskan waktu bersama kekasihku, Lisa. Aku juga mulai merasakan kegelisahan jika tidak dapat bertemu dengan Lisa. Sering aku mencari tempat yang aman untuk dapat menelepon dan mendengarkan suara lembut Lisa. Ahh..rasanya aku benar – benar mabuk kepayang dibuatnya. Sudah cukup lama aku memendam semua ini, aku tidak bisa lagi..tidak bisa..aku harus mengatakan terus terang kepada istriku apa yang sebenarnya terjadi. Dan aku memutuskan malam ini, aku akan bersikap “tega” demi kebaikan kami berdua.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, saat aku tiba di rumah. Seperti biasa, istriku masih setia menunggu dan menyiapkan makan malam untukku. Serta merta aku memegang tangannya dan mengatakan bahwa aku ingin berbicara sesuatu hal yang serius dengannya. Seakan bisa membaca pikiranku, ia hanya mengangguk pelan dan duduk di meja makan berhadapan denganku. Saat itu, anak laki – laki kami satu-satunya yang masih berumur sembilan tahun sudah tidur. Dengan susah payah, aku menjelaskan keinginanku untuk bercerai. Aku mengamati perubahan wajah istriku. Terbias kecemasan, ketakutan, atau…entah apa itu. Yang jelas, dia hanya mengatakan, mengapa? Tiba-tiba dia marah sekaligus menangis, membuat aku harus mengakui kehadiran Lisa diantara kami. Aku menjelaskan bahwa aku mencintai Lisa dan perasaanku yang tersisa sekarang hanya rasa kasihan saja kepadanya. Akhirnya dia menangis tersedu – sedu di hadapanku, yang aku artikan bahwa itu sudah menjadi kesepakatan diantara kami tentang perceraian ini. Kejamkah diriku ? Aku pikir tidak juga. Toh nantinya dia akan mendapatkan separuh dari harta milikku. Dia tidak akan hidup menderita. Anak kami juga akan selalu mendapatkan santunan dariku seumur hidupnya. Jadi sepertinya tidak akan ada masalah. Rasa lega tiba – tiba menguasaiku, sebentar lagi aku bisa bebas hidup bersama Lisa.

Pagi – pagi sekali aku terbangun, dan melihat istriku menulis sesuatu di meja. Beberapa saat kemudian, dia memberikan secarik kertas kepadaku yang isinya mengenai perjanjian sebelum tiba hari perceraian kami. Segera aku membaca dan menelusuri poin – poin di dalamnya. Intinya, istriku tidak menginginkan harta apapun dariku. Dia hanya meminta pengunduran waktu bercerai sampai bulan depan. Dan selama sebulan penuh ini, kami diharuskan bersikap sewajarnya di hadapan anak kami agar anak kami dapat menerima semua ini dengan perlahan – lahan. Tidak hanya itu, setiap hari selama sebulan penuh, dia mengantarkanku berangkat bekerja sambil bergandengan tangan. Dari ruang tidur kami hingga ke beranda depan, menciumku, memelukku dan melepasku berangkat bekerja. Hmm..aku rasa tidak masalah karena syarat yang diajukan tidak cukup berat. Toh syarat seperti itu tidak seberapa dibandingkan dengan kebahagiaanku kelak bersama Lisa. Aku pun segera menyetujuinya.

Mulailah hari pertama syarat itu berlaku. Kami bergandengan tangan dari ruang tidur, dengan perasaan canggung. Melewati ruang keluarga, anak kami tertawa-tawa dan menggoda kami berdua. Sesampainya di beranda depan, istriku memelukku, menciumku dan melepasku pergi. Tiba – tiba aku ingat saat – saat pertama pernikahan kami dulu. Inilah yang sering kami lakukan setiap harinya !
Hari kedua masih dengan hal yang sama, kami bergandengan tangan, menuju beranda depan. Dia memelukku, aku bisa mencium bau parfum favoritnya yang dulu selalu aku berikan sebagai hadiah. Ketika dia menciumku, aku sekilas melihat sedikit kerutan di sekitar matanya, dan juga beberapa helai rambut yang mulai kelabu. Hmm..baru sekarang aku memperhatikan detil wajahnya. Dia tidak muda lagi. Dia masih cantik, hanya tidak muda lagi. Apa yang sudah aku perbuat kepadanya selama sebelas tahun ini ? Sedikit rasa sesak menyeruak ke dalam dada. Penyesalan karena ternyata selama ini kami tidak banyak lagi menghabiskan waktu berdua dan saling memperhatikan satu sama lain.

Di hari keempat, kelima, keenam, aku mulai merasakan keintiman dengannya. Kami sudah tidak canggung lagi, dan bisa tertawa – tawa menimpali lelucon anak kami. Di hari – hari selanjutnya, aku merasakan tangannya semakin kecil, baju – baju yang dipakainya pun terlihat longgar. Apakah dia semakin kurus ? Ya, dia semakin kurus. Wajahnya semakin tirus, dan matanya pun semakin cekung. Tetapi dia tetap tersenyum dan terlihat bahagia setiap aku menggandeng tangannya. Efek dari kemungkinan perceraian ini bisa jadi membuat dia kehilangan cukup banyak berat badannya. Hmm…

Di hari terakhir perjanjian kami, aku merasakan adanya kesatuan perasaan dan keintiman dengannya. Rasa sayang kepada istri dan anakku membuat aku akhirnya menyadari, bahwa semua kesalahan ini terjadi karena kebosanan dan kejenuhan saja. Rasa cinta dan sayang itu masih ada, tidak lenyap begitu saja. Tiba – tiba aku seperti menemukan duniaku kembali. Aku mengatakan kepada istriku bahwa aku sudah memutuskan sesuatu, dan aku akan kembali beberapa saat lagi. Aku mencium dia di beranda depan rumah dan meminta dia menungguku. Segera aku berlari menuju mobil dan melesat ke rumah Lisa.

Di depan pintu rumah Lisa, aku mengatakan selamat tinggal kepadanya, dan menjelaskan bahwa aku tidak akan pernah berpisah dengan istriku karena aku masih mencintainya. Lisa seketika marah. Tetapi sekali lagi aku meyakinkan Lisa, bahwa keputusan untuk bercerai itu hanyalah kesalahan besar. Dan hubungan gelap selama ini karena rasa jenuh dan bosan saja. Lisa marah dan menamparku dengan keras. Dia menutup pintu rumahnya dan menangis. Aku tidak peduli lagi. Aku segera berlalu dari rumah Lisa. Tujuanku adalah menemui istriku dan mengatakan betapa aku mencintainya. Cinta yang sama, sayang yang sama seperti dulu saat kami pertama kali bertemu. Ternyata aku masih menyimpan rasa cinta itu !

Aku membayangkan istriku tersenyum sambil menangis dan memelukku erat – erat seakan tidak mau melepaskan lagi. Aku bertekad akan merayakan peristiwa ini dengan makan malam di restoran terkenal bersama anak kami dan berlibur ke tempat – tempat wisata yang menarik. Hmm..luar biasa, pikirku sambil tersenyum bahagia.

Ketika aku sampai di beranda rumah, aku menemui rumah dalam keadaan sepi. Dan ketika aku masuk ke dalam kamar, aku menemui istriku terbaring kaku di tempat tidur dengan didampingi dokter pribadi kami beserta anakku yang menangis terisak – isak. Dengan cemas, aku bertanya ada apa. Dari keterangan yang aku dapatkan, ternyata selama ini istriku menderita penyakit kanker rahim stadium akhir. Dan selama ini dia berjuang melawan penyakit itu sendirian, disaat aku, tentu saja, bersenang-senang dengan Lisa dan tidak memperhatikannya. Itulah alasan kenapa berat badannya menurun drastis akhir-akhir ini. Menurut dokter, dia hanya ingin menyelamatkan anak kami dari bahaya perceraian sekaligus menunjukkan bahwa aku adalah seorang ayah dan suami yang baik di mata anak kami.

Mendengar itu, seketika aku merasakan kepalaku mendadak pusing, pandangan mataku berkunang-kunang dan sekelilingku menjadi gelap. Aku tidak ingat apa – apa lagi. Hanya satu yang sempat aku ucapkan sebelum semua menjadi gelap, ” Maafkan aku sayang”.

Hikmah dari cerita ini :
* Jangan pernah anda menunda mengatakan rasa sayang / cinta kepada orang yang anda sayangi, 

   karena kita tidak tahu kapan waktu hidup kita akan berakhir.
* Hidup ini singkat, jangan isi hidup ini dengan kesia – siaan.

Tidak ada komentar: